Diceritakan sejak pusaka Pajang hilang, Pangeran Benawa mengutus saudara-saudaranya untuk mencarinya sampai ditemukan. Ia begitu risau dengan hilangnya pusaka peninggalan ayahnya tersebut.
Siang dan malam ia sangat gelisah dan menanti kabar dari saudara-saudaranya. Keadaan tersebut membuatnya sangat tidak tenang. Tidak jarang ia marah tanpa sebab. Namun, kelakuannya tersebut dimaklumi oleh semua penghuni Istana Jipang, baik para dayang, hulubalang, permaisuri, para selir, maupun rakyat Jipang secara luas.
Mereka sangat maklum dengan apa yang dialami Pangeran Benawa tersebut. Tidak lelah permaisuri dan seluruh penghuni istana menenangkan Pangeran Benawa. Akhirnya, suatu hari ia mendapatkan kabar gembira. Pusaka yang lama hilang tersebut ditemukan dalam keadaan utuh.
Pangeran Benawa bersuka cita dengan kabar tersebut. Ia memutuskan menyelenggarakan sebuah pesta rakyat untuk merayakan kembalinya pusaka keluarga tersebut. Semua penghuni istana pun bersuka ria karena pemimpin mereka kembali ceria dan bersemangat.
Pesta dilaksanakan tujuh hari tujuh malam. Rentak gendang dan tabuh-tabuhan melengkapi suasana gegap gempita pesta rakyat itu. Pangeran Benawa tampak begitu gagah duduk di singgasana dikelilingi permaisuri dan para selir. Aneka hidangan tersaji rapi di meja jamuan. Para tamu undangan dari kadipaten-kadipaten sekitar Istana Jipang juga ikut larut dalam keriaan tersebut.
Hari demi hari berlalu menjadi bulan dan tahun. Setelah pusaka ditemukan tidak lantas membuat Pangeran Benawa menjadi semakin baik dalam menjalankan roda pemerintahan. Ia menjadi sangat arogan dan pongah.
Demi membangkitkan kembali kejayaan Jipang, ia menekan rakyat dengan pajak dan upeti yang sangat tinggi. Hal tersebut membuat rakyat Jipang menjadi kurang bersimpati lagi dengan Pangeran Benawa.
Kabar kurang simpatinya rakyat Jipang Panolan terhadap kepemimpinan Pangeran Benawa akhirnya didengar oleh saudara-saudara Pangeran Benawa yang berada di luar Jipang Panolan. Mereka memang tidak kembali lagi ke Panolan setelah melaksanakan tugas mencari pusaka kadipaten yang hilang.
Dua pangeran di antara lima saudara Pangeran Benawa sangat tidak berkenan dengan ketidakadilan Pangeran Benawa memimpin Panolan. Mereka adalah Pangeran Giri Kusuma dan Pangeran Giri Jati. Mereka memang dikenal memiliki kesaktian dan ilmu kanuragan yang baik.
Mereka berdua bersepakat melakukan pemberontakan terhadap saudaranya tersebut. Maksud dan tujuan mereka adalah untuk memberi pelajaran kepada Pangeran Benawa. Kedua pangeran tersebut menganggap Pangeran Benawa sudah tidak bisa diberi pengertian dan dianggap sering melakukan tindakan yang kurang terpuji terhadap bawahan dan rakyat Jipang Panolan.
Aksi pemberontakan pun segera dilancarkan. Ternyata, aksi pemberontakan ini sudah tercium oleh pasukan dari Panolan. Pasukan Kadipaten Jipang Panolan dipimpin langsung oleh Pangeran Benawa. Singkat cerita, pasukan Pangeran Benawa sudah sampai di tepi Sungai Bengawan Solo.
Namun, pada akhirnya pasukan Pangeran Benawa terkurung di daerah lembah yang dalam dan berlumpur. Pangeran Benawa tidak dapat bergerak karena kakinya terbenam dalam lumpur panas hingga di atas lutut, dalam bahasa Jawa istilah tersebut adalah disebut sadhuwuring pupu ‘di atas paha’.
Oleh karena itu, tempat tersebut pada akhirnya diberi nama cepu yang berasal dari kata mancep sepupu ‘terbenam hingga paha’. Karena tidak bisa bergerak, dengan terpaksa Pangeran Benawa menyerah kepada kedua adiknya. Di tempat itu dia berjanji akan mematuhi nasihat-nasihat saudara-saudaranya.
(Disadur dari Buku CERITA RAKYAT JAWA TENGAH: KABUPATEN BLORA, Penerbit Balai Bahasa Jawa Tengah, 2017)