fbpx
OPINI  

CERITA DARI BLORA: MINYAK, RESOURCE CURSE DAN OIL FUND

Migas dan Blora, adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Karena sejarah eksploitasi Migas di Blora sudah berlangsung sejak 2 abad yang lalu. Dimulai sejak jaman kolonial Belanda. Tercatat dalam sejarah, produksi “emas hitam” di Blora diawali sejak tahun 1893. Lokasi penemuan pertama kalinya di ladang minyak bumi Ledok, Cepu. Dan masih berproduksi hingga sekarang.

M. Khamdun

 

Sebagai daerah yang memiliki sejarah panjang eksploitasi Migas, boleh dibilang Blora belum merasakan dampak positif yang sebesar-besarnya dari industri yang padat teknologi, padat modal dan beresiko tinggi ini. Kabupaten Blora lebih banyak menerima dampak negatif, antara lain berupa kerusakan infrastruktur jalan disebabkan aktifitas alat berat dan kendaraan berat Migas. Juga kerusakan lingkungan tambang, yaitu menurunnya debit air sekitar tambang, tercemarnya sungai dan beberapa kali terjadi kecelakaan aktifitas pengeboran seperti blow out dan kebocoran pipa minyak.

Produksi minyak bumi terbesar di Blora diperkirakan terjadi pada era 70 sampai 80-an, saat booming minyak nasional. Dimana saat itu, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara pengekspor minyak terbesar didunia. Sayangnya, pada saat itu manajemen keuangan negara masih tersentralisasi. Sehingga, meski produksi Migas besar, Blora dapat bagian yang tak sepadan. Jatah “dana bagi hasil” Migas  yang diterima pemerintah Blora adalah dalam bentuk bantuan pengembangan kabupaten, Inpres dan beberapa program top down lainnya. Dari banyak program yang diluncurkan pemerintah tersebut tidak ada perbedaan untuk daerah penghasil Migas dan Non Migas.

Setelah lahirnya era desentralisasi dan otonomi daerah, akses daerah penghasil Migas untuk menikmati langsung SDA mulai terbuka, dengan adanya mekanisme dana perimbangan dalam bentuk dana bagi hasil (DBH) Migas. Mekanisme ini diatur dalam Undang-undang 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Sayangnya, setelah ada mekanisme DBH ini, produksi Migas dari blok-blok dan WKP di Blora sudah sangat kecil.

Dalam lima tahun terakhir, yang tercatat dalam data lifting, rekonsiliasi Kementerian Keuangan, produksi minyak Blora hanya 1000-an barel oil per day (bopd). Dengan jatah DBH 6% untuk daerah penghasil, setiap tahunnya Blora hanya kebagian sekitar Rp. 2 milyar. Meski ditambah dengan sumber pendapatan dari Migas yang lain, yaitu pajak dan bagi hasil participating interest (PI), jumlahnya juga masih belum menyentuh angka Rp. 10 milyar.

Dengan angka yang sekecil itu, tentu saja belum berpengaruh signifikan terhadap kebutuhan pembiayaan pembangunan daerah. Karenanya, ini jadi satu alasan utama mengapa Pemkab Blora belum memiliki mekanisme pembelanjaan pendapatan dari Migas. Hingga saat ini, Pemkab belum juga menyusun perencanaan daerah yang berbasis potensi Migas.

 

Potensi Resource Curse

Kondisi ini tentu saja patut disayangkan. Blora adalah daerah minyak. Minyak adalah sumber daya yang tidak terbarukan. Suatu saat minyak Blora akan mencapai puncak produksi, yang diiringi dengan peningkatan jumlah pendapatan yang besar. Dan pada saatnya nanti minyak Blora pasti akan habis.

Jika manajemen anggaran daerah masih seperti saat ini, ditambah tidak adanya penyiapan-penyiapan perangkat penunjang pengelolaan Migas, maka saat datangnya produksi Migas yang sangat besar itu masyarakat dan pemerintah akan tergagap. Hasil akhirnya dana Migas akan habis dan Blora akan tetap pada kemiskinannya. Maka ancaman resource curse (kutukan sumber daya alam) itupun akan terwujud. Dimana kekayaan daerah dari minyak tidak memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya.   

Potensi minyak yang besar, mestinya harus menyadarkan stakeholder pentingnya menyusun roadmap pengembangan Migas. Salah satu terobosannya adalah pengembangan ekonomi Migas. Daerah sudah harus mulai berfikir kreatif untuk mengembangkan Migas menjadi sumber pendapatan yang besar. Tidak hanya bergantung pada “belas kasihan” pemerintah pusat dalam bentuk DAU dan DAK. Karena roh otonomi adalah kemandirian dan kreatifitas tak terbatas pada daerah untuk pengembangan daerah, berbasis potensi lokal.

 

Gagasan Oil Fund

Untuk itu mulai menginisiasi rancangan mekanisme dana tabungan minyak atau Oil Fund adalah keniscayaan. Mengingat cadangan minyak yang akan habis pada suatu saat. Saat ini, dinegara-negara dan beberapa daerah kaya sumberdaya alam mengembangkan apa yang disebut Natural Resource Fund. Model yang dikembangkan yaitu Saving Fund atau Oil Fund dan Stablization Fund. Saving Fund adalah menabung dana minyak dan digunakan untuk pembangunan yang akan datang. Bersifat seperti warisan untuk anak cucu generasi penerus. Sedang Stabilization Fund adalah menyisihkan dana minyak untuk mengantisipasi volatilitas minyak dan menjaga keseimbangan keuangan daerah atau negara

Ada 3 aturan dalam Saving Fund. Pertama, Deposit Rules (Aturan Penyimpanan), yaitu saving hanya untuk pembangunan berkelanjutan atau pencegahan krisis. Dana yang bisa di saving bisa dari semua pendapatan minyak atau beberapa saja, misalnya, pajak, DBH, royalti, fee manajemen, signature bonus dan lain-lain. Kedua, Withdrawal Rules (Aturan Pengambilan). Sejauh ini, untuk cara pengambilan dana saving muncul banyak mekanisme yang berbeda antara negara satu dengan negara yang lain. Beberapa negara membuat regulasi saving dapat dicairkan dengan pengecualian (extraordinary) pada saat terjadi krisis. Ketiga, Investment Rules (Aturan Investasi). Dana saving bisa diinvestasikan pada semua jenis asset misalnya, obligasi, saham, real estate atau aset-aset lainnya. Termasuk bisa digunakan untuk diversifikasi atau pengembangan ekonomi non migas. Sebagai catatan, sebelum menentukan jenis investasi, harus menyiapkan strategi yang matang dengan memperhitungkan resiko dan dampaknya.

Dalam konteks Blora, mekanisme Oil Fund bisa dilakukan dalam bentuk penyertaan modal kepada lembaga perbankan daerah. Bisa BKK (Bank Kredit Kecamatan) maupun Bank Jateng. Tujuannya untuk menguatkan peran Bank Daerah dalam pembangunan. Selanjutnya bantuan keuangan ini bisa digunakan untuk kredit pengembangan sektor Migas. Misalnya, pengelolan sumur tua oleh penambang rakyat, pengembangan sektor jasa, atau sektor-sektor penunjang Migas lainnya. Dengan cara ini uang Migas akan tetap tersimpan, di sisi lain pengembangan sektor Migas juga berjalan. Sedangkan antara Pemkab dan Bank Daerah akan berbagi keuntungan dari laba usaha yang dihasilkan. 

Mekanisme Oil Fund ini harus dimulai meski dengan dana yang kecil. Karena diproyeksikan dalam waktu 5 tahun ke depan Blora akan mendapatkan berkah puncak produksi Blok Cepu. Meski tak dapat DBH sekalipun, dari PI akan memperoleh pendapatan yang signifikan. Ditambah lagi potensi kenaikan prosentase DBH Migas lebih dari 6%,  jika permohonan Judicial Review UU 33 tahun 2004 daerah penghasil Migas dikabulkan Mahkamah Konstitusi.

Hal strategis lain adalah memprioritaskan pembangunan bagi desa penghasil Migas. Karena sudah ratusan tahun mereka berdampingan dengan perusahaan besar, namun tak pernah dapat keberkahan. Mereka senantiasa dalam kubangan kemiskinan ditengah kemewahan perusahaan Migas. Jika kebijakan ini dilakukan akan mengurangi resiko protes dari warga desa penghasil yang ditimbulkan akibat kecemburuan sosial warga terhadap keberadaan perusahaan Migas. Disamping itu akan mempercepat pembangunan desa penghasil Migas sehingga setara dengan desa-desa maju lain di Kabupaten Blora.

M. Khamdun : Penulis adalah Pemerhati Kabupaten Blora.