Kawengan ( 23/03/2016 ) Maling Kenthiri merupakan seorang tokoh pahlawan rakyat yang kontroversial. Melakukan pencurian kepada para bangsawan dan saudagar namun memberikan hasil curiannya kepada rakyat miskin yang membutuhkan. Dalam melakukan aksi pencuriannya, Maling Kenthiri bersenjata Tombak Pusaka Dorodasih dan Pusaka Srigunting. Tombak Pusaka Dorodasih untuk menyusup kedalam tanah, dan Pusaka Srigunting untuk membuka pintu – pintu yang terkunci.
Kyai Muhammad Sujono Asrori ( 56 ) inisiator perawatan Keramat ( makam ) Maling Ketnthiri menceritakan kisah petualangan maling Kenthiri di Kabupaten Blora. Menurut Kyai Asrori, Maling Kenthiri berjasa memberi nama banyak desa dan dukuh di Kecamatan Jepon. Mulai dari Desa Gersi sampai Desa Kawengan, dari dukuh Kalinjalin sampai dukuh Dolog di desa Puledagel semua nama – nama tersebut adalah pemberian dari Maling Kenthiri. Nama – nama dukuh dan desa tersebut masih dipergunakan sampai hari ini. Nama – nama ini tercipta dari kisah perjuangan cinta Maling Kenthiri untuk merebut hati Dewi Sirep.
Kyai Asrori menuturkan kepada Bloranews.com tentang perjuangan cinta Maling Kenthiri. Menurut Kyai Asrori Kisah perjuangan cinta ini sejaman dengan masa perjuangan Sunan Muria untuk menyebarkan ajaran islam di tanah jawa. Hal ini disimpulkan dari tutur – tutur lisan yang ada, bahwa Maling Kenthiri merupakan adik seperguruan dari Maling Kopo. Maling Kopo merupakan rival sekaligus sahabat Sunan Muria.
Alkisah di desa Tanjung Anom ( Desa Geneng sekarang ) hiduplah sepasang suami – istri yang bernama Jaka Selakon dan Dewi Sirep. Mereka berdua berbahagia sekalipun belum dikaruniai keturunan, Jaka Selakon dan Dewi Sirep adalah pengantin baru kala itu.
Suatu ketika dalam pengembaraannya, Maling Kenthiri bertemu dengan sepasang suami istri tersebut. Dalam kesempatan itu, Maling Kenthiri jatuh cinta dalam pandangan pertama kepada Dewi Sirep. Maling Kenthiri pun menyatakan rasa cintanya kepada Dewi Sirep, seketika jaka Selakon pun naik darah. Pertarungan dua pendekar pun terjadi. Maling Kenthiri ternyata lemah dalam pertarungan di darat, Jaka selakon pun berhasil menundukkan Maling Kenthiri.
Tidak terima dengan kemenangan jaka Selakon di pertarungan pertama, Maling Kenthiri mulai menyusun siasat. Di sebuah sungai, tidak jauh dari desa Tanjung Anom Maling Kenthiri menantang Jaka Selakon dalam sebuah duel. Benar saja, dalam pertarungan kedua ini Maling Kenthiri berhasil membunuh Jaka Selakon. Terbakar oleh amarahnya, Maling Kenthiri melemparkan jasad Jaka Selakon yang sudah tidak bernyawa itu ke sebuah pohon Kelapa Gading. Dari peristiwa tersebut, masyarakat desa Tanjung Anom ( Desa Geneng sekarang ) berpantang menanam pohon Kelapa Gading di depan rumah. Jasad Jaka Selakon berubah menjadi Burung Bence, burung yang dipercaya memperingatkan warga desa bahwa akan terjadi pencurian.
Melihat suaminya mati secara mengenaskan, Dewi Sirep pun berlari dari Maling Kenthiri. Dewi Sirep berlari ke utara sampai ke sebuah bangunan yang berpagar besi, untuk mengenangnya maka desa itu dinamakan desa Gersi ( Pager Wesi : Gersi ). Pelarian dilanjutkan sampai ke sebuah pepohonan pisang yang berbuah lebat dan panjang – panjang, pisang panjang dalam bahasa jawa adalah Gedang Dowo. Tempat tersebut sampai hari ini bernama desa Gedang Dowo.
Dewi Sirep berlari dan terus dikejar Maling Kenthiri sampai ke sebuah jan yang becek dan sulit dilewati karena banyak lumpur. Dalam bahasa jawa, kondisi jalan seperti ini dinamakan petelan, sekarang tempat ini bernama desa Patalan. Pengejaran Maling Kenthiri dilanjutkan sampai malam tiba. Di tempat itu Maling Kenthiri beristirahat karena terlalu gelap untuk mengejar. Dalam bahasa jawa, kemalaman ( menjelang malam ) dinamakan kedalon. Sampai hari ini, tempat itu bernama Dukuh Kedalon, merupakan salah satu dukuh di desa Jatirejo Kecamatan Jepon.
Singkat cerita, pengejaran sampai ke sebuah hutan. Di dekat hutan tersebut terdapat sebuah padasan ( tempat berwudu ). Dalam pengejarannya, Maling Kenthiri tersandung padasan itu, seketika tempat berwudu tersebut hancur berkeping – keping dan menjadi serpihan – serpihan gerabah yang berserakan. Dalam bahasa jawa, serpihan gerabah seperti itu dinamakan kereweng. Tempat itu kemudian dinamakan Desa Kawengan.
Di dalam hutan tersebut ternyata banyak ditumbuhi talas – talas yang rimbun. Maling kenthiri berlari dan terjerat batang – batang talas. Di tempat itu pula, maling Kenthiri terjatuh dan menghembuskan nafas terakhir. Dalam kepercayaan masyarakat kawengan, mereka tidak boleh memiliki padasan dan tidak boleh menanam talas.
“ Pernah ada yang membeli sebuah padasan dan diletakkan di dekat Keramat Maling Kenthiri, ternyata kemudian istri pembeli padasan tersebut mengalami empat kali keguguran. Sampai kemudian padasan tersebut dibuang. “ Kisah Kyai Asrori kepada Bloranews.com
Namun, perjuangan untuk menyebarkan agama islam tidak pernah surut. Kyai Asrori mengajak penduduk desa Kawengan untuk belajar agama. Hasilnya, lambat laun terlaksana sebuah tradisi desa berupa pengajian yang dilaksanakan setiap malam kamis kliwon setelah panen raya. Sejak tahun 2013, melalui sebuah rapat desa diputuskan bahwa akan dilaksanakan Haul Maling Kenthiri setiap tanggal 1 Muharram.
Kisah Maling Kenthiri di atas merupakan salah satu pakem cerita Maling Kenthiri disamping banyak pakem yang lain. Hikmah dari cerita tersebut adalah merusak rumah tangga orang lain akan membawa mala petaka bagi pelakunya. Sehingga, sikap nrimo ing pandum ( tidak serakah ) merupakan inti dari cerita ini.
Reporter : Muhammad Eko
Fotografer : Aliph Bengkong