Jatirejo ( 20/03/2016 ) Desa Jatirejo merupakan salah satu desa di Kecamatan Jepon yang berdiri pada awal abad XVII. Menelusuri sejarah berdirinya desa ini, merupakan sebuah petualangan menuju masa lampau yang sarat dengan pengalaman magis. Seperti para tokoh pendiri desa – desa di Kabupaten Blora lainnya, pendiri desa Jatirejo merupakan seseorang yang memiliki kemampuan olah rasa yang tinggi. Untuk mengenang pendiri desa ini, pada tahun 1984 didirikanlah patung Macan Putih di depan balai desa Jatirejo.
Paiman Suparto ( 67 ) menceritakan kisah berdirinya desa Jatirejo kepada Bloranews.com kemarin ( 19/03/2016 ). Mbah Paiman adalah Kepala Desa Jatirejo pada 1975 – 1990, pada masa itu jabatan kepala desa memiliki masa bhakti yang panjang. Atas prestasi yang telah dicapainya, beliau kembali memimpin desa Jatirejo untuk masa bakti 1990 – 1998.
Kemampuan memimpin Mbah Paiman di desa Jatirejo sekilas seperti diwariskan dari para leluhurnya yang juga menjadi kepala desa Jatirejo. Sebelum dipimpin Mbah Paiman, desa Jatirejo dipimpin oleh Kartowijoyo Sardjo pada tahun 1963 – 1975. Leluhur pertama Mbah Paiman yang memimpin desa Jatirejo adalah Samidjan Wirjodidjojo pada pemerintahan kolonial Hindia – Belanda.
Kepada Bloranews.com Mbah Paiman menceritakan bahwa Samidjan Wirjodidjojo merupakan kepala desa yang loyal pada pemerintah kala itu, namun sikapnya yang loyal itu membuat pejabat pemerintah kolonial menjadi bertindak kurang ajar. Samidjan ketika diundang ke kecamatan atas perintah dari pejabat pemerintah kolonial Hindia – Belanda kala itu, dirampas kuda kesayangannya. Menurut cerita Mbah Paiman, Samidjan memiliki kuda dengan postur yang gagah. Karena perbuatan pejabat kolonial itu, Samidjan harus pulang dengan jalan kaki, sampai dirumah kemudian Samidjan menghembuskan nafas terakhir. Kelelahan akibat berjalan jauh dan kesedihan karena kuda kesayangannya dirampas pejabat kolonial itu merupakan penyebab kematian Samidjan.
Mbah Paiman bisa dikatakan sebagai inisiator pendirian patung Macan Putih yang saat ini berdiri di depan Balai Desa Jatirejo. Macan Putih merupakan simbol dari keberanian dan kesucian batin, serta merupakan perwujudan dari hewan peliharaan sang pendiri desa, Co Gario.
Co Gario atau biasa dipanggil Kek Co merupakan babat alas ( pendiri ) desa Jatirejo. Beliau ( Kek Co ) bukanlah penduduk asli Jatirejo, melainkan pengembara yang saat itu melewati hutan belantara yang dikemudian hari menjadi desa Jatirejo. Dalam membuka pemukiman di hutan belantara tersebut, Kek Co mendapatkan tantangan alam yang berat. Untungnya, secara tiba – tiba muncul Macan Putih yang senantiasa menemani dan melindungi Kek Co dari serangan binatang buas.
Suatu ketika, Kek Co yang sedang membuka lahan terkena tumbuhan gatal sehingga Kek Co terlonjak – lonjak karena rasa gatal. Lonjak – lonjak dalam bahasa jawa adalah jingkat, maka Kek Co menjatuhkan sebuah sabda yang berbunyi “ Kelak tempat ini akan bernama Jingkat, Karena banyak tumbuhan gatal yang membuat orang yang terkena menjadi terlonjak – lonjak ( Jingkat – jingkat ) “. Benar saja, saat ini desa Jatirejo terdapat sebuah dukuh yang bernama dukuh Jingkat.
Sedangkan nama Jatirejo sendiri diperoleh dari banyaknya pohon – pohon jati saat itu. Rejo dalam bahasa Indonesia berarti ramai atau banyak. Jadi, Jatirejo artinya tempat pohon Jati yang banyak. Selain dukuh Jingkat, di desa Jatirejo juga terdapat dukuh Kedalon. Nama Kedalon merupakan pemberian dari tokoh Kabupaten Blora, Maling Kenthiri.
Dalam pelarian setelah melakukan aksi pencurian di sebuah desa, Maling Kenthiri berlari sampai ke sebuah hutan yang lebat. Karena peristiwa itu ( Maling Kenthiri berlari ) terjadi pada senja hari, maka hutan yang lebat itu dinamakan Kedalon. Dalam bahasa Indonesia, Kedalon artinya ke-malam-an.
“ Tidak banyak yang peduli terhadap sejarah dewasa ini, padahal kepribadian kita dibentuk dari perhatian kita untuk belajar dari sejarah yang telah berlalu. Semoga kisah ini tetap lestari sampai anak cucu saya nanti “ Pesan Mbah Paiman menutup diskusi sore itu.
Reporter : M. Eko
Fotografer : Az Zulfa