fbpx

DESA PALON : PERANG TERAKHIR YANG MENENTUKAN

desa palon kecamatan jepon
hiohoihpohiohyopihoih

Palon ( 19/03/2016 ) Perang Bangsri yang berdarah membuat kedua belah pihak, Pasukan pimpinan Sang Naya Sentika dan Pasukan Kolonial mengalami kerugian besar. Ratusan prajurit meregang nyawa di palagan ( gelanggang pertempuran ) yang bernama Oro – oro Sedodol. Pasukan Kolonial yang terlatih dengan persenjataan lengkap dengan sisa – sisa kekuatannya menduduki desa Bangsri dan sekitarnya, sementara pasukan yang dipimpin Naya Sentika tercerai – berai. Situasi ini membuat Naya Sentika memilih mundur dan merencanakan strategi untuk serangan balasan. Tubuhnya yang luka – luka, bahkan kepala sang Naya Sentika berlumuran darah tidak membuat padam semangat sang pejuang rakyat itu.

 

mbah muljadi bangsri
Mbah Moeljadi saat menceritakan tentang peristiwa kalahnya Naya Sentika pada perang pertama

 

Mbah Moeljadi ( 80 ) menceritakan peristiwa dikalahkannya Naya Sentika dalam perang pertama itu dengan penuh semangat. Mbah Moeljadi mendapatkan tuturan kisah kepahlawanan Naya Sentika dari Kamituwa Desa Bangsri saat Mbah Moeljadi masih berusia remaja. Nampaknya, usia yang telah lanjut tidak membuat ingatan Mbah Moeljadi pudar.

“ Di tengah situasi yang menekan itu ( kekalahan pada perang pertama ), Naya Sentika berjalan Nglerek – nglerek ( tertatih – tatih ) menuju ke arah selatan. Di tempat itu Naya Sentika menjatuhkan upat – upat ( sabda ) : Kelak daerah ini akan bernama Nglorok. Perjalanan tertatih – tatih ( Nglerek – nglerek ) ini akan dikenang. Sampai hari ini, sebuah dukuh kecil di sebelah selatan desa Bangsri dinamakan dukuh Nglorok. “ Tutur Mbah Moeljadi kepada Bloranews.com

 

setinggi jepon
Sitinggil Binaturata, Saat ini telah dibangun Sekolah Menengah Pertama

 

Pasukan Naya Sentika yang tercerai – berai berlarian ke segala arah. Beberapa pasukan berlari ke tanah tinggi sebelah utara desa Bangsri. Dalam kondisi lemah secara logistik perang para pasukan tersebut membutuhkan air minum untuk mengembalikan stamina mereka. Sesampainya di tanah tinggi sebelah utara itu, mereka tidak menemukan sumber air. Bahkan, sungai – sungai pun mengering. Tanah tinggi di sebelah utara tersebut dinamakan Sitinggil Binaturata, saat ini telah berdiri sebuah sekolah menengah pertama di lokasi yang dimaksud.

Naya Sentika bersama dengan beberapa pengikutnya berjalan menuju arah timur. Merasa telah jauh dari wilayah pendudukan tentara Kolonial, Naya Sentika pun berjalan dengan pelan – pelan. Sepanjang perjalanan itu, Naya Sentika menjatuhkan sebuah upat – upat lagi.

 

desa palon kecamatan jepon
Desa Palon tempat Naya Sentika mulai jauh dari pantauan tentara Kolonial

 

Tahunana windanana yen panggonan iki dadi desa, dadio desa Palon. Yen dadi kutho, dadio kutho Palon. Merga, awak dewe iki mlampah alon – alon ing papan panggonan iki. ( Kelak di kemudian hari jika tempat ini muali ramai dan menjadi desa, maka berilah nama desa Palon, jika menjadi kota maka berilah nama kota Palon. Ini karena kita ( Naya Sentika dan beberapa pengikutnya ) berjalan pelan – pelan ( mlampah alon – alon : palon ) di tempat ini. “ lanjut Mbah Moeljadi.

Selanjutnya, Naya Sentika melanjutkan perjalanan semakin ke arah timur. Sampailah rombongan itu ke sebuah lapangan luas dengan beberapa pohon rindang. Rasa lelah yang teramat – sangat membuat Naya Sentika dan pengikutnya beristirahat di bawah pohon – pohon rindang tersebut. Di sela – sela istirahatnya, Naya Sentika kembali menjatuhkan sebuah upat – upat.

“ Tahunana windanana yeng papan panggonan iki dadi desa, dadio desa Semampir. Yen dadi kutho, dadio kutho Semampir. Merga, awak dewe mampir ngaup ana ing papan panggonan iki . ( Kelak di kemudian hari, jika tempat ini menjadi desa maka namailah desa ini sebagai desa Semampir. Jika tempat ini menjadi kota maka namailah tempat ini sebagai kota Semampir. Kita telah berteduh ( mampir ngaup : semampir ) di tempat ini. “ kisah Mbah Moeljadi.

 

balai desa semampir
Desa Semampir, Tempat Naya Sentika beristirahat saat dikalahkan tentara Kolonial pada perang pertama

 

Setelah beristirahat, Naya Sentika melanjutkan perjalanannya menuju ke arah timur sampai desa Sambeng di Kecamatan Cepu dan kembali ke Gunung Surak..

Di Gunung Surak Naya Sentika menemui gurunya, Mbok Rondho Egroh. Dia menceritakan bahwa dia telah dikalahkan oleh tentara Kolonial. Di padepokan itu pula terbongkar penghianatan Sarinah, teman seperguruan Naya Sentika.

Dengan bijaksana, Mbok Rondho Egroh memerintahkan Naya Sentika untuk kembali melanjutkan pertempuran. Namun, pada pertempuran kedua ini dia tidak lagi dibantu warga – warga desa Bangsri dan sekitarnya saja. Melainkan, seluruh rakyat di pulau Jawa akan membantu perjuangannya.

Benar saja, dalam pertempuran kedua ini Naya Sentika berhasil memukul mundur tentara Kolonial dengan kemenangan mutlak. Situasi yang berbalik ini, membuat pimpinan tentara Kolonial melakukan sebuah pertemuan dengan Naya Sentika. Pertemuan ini merupakan undangan makan bersama antara tentara Kolonial dan Naya Sentika dengan pasukannya. Dalam pertemuan itu, Naya Sentika ditangkap.

 

Tugu noyo Gimbal bangsri
Patung Naya Sentika yang dibangun atas perintah Kamituwa Ngrapah, Danang Hadi Carito

 

Seluruh tubuhnya diikat dan dimasukkan ke dalam tong besi dan di cor kemudian dibuang ke laut. Peristiwa itu mengakhiri riwayat Naya Sentika. Untuk mengenang keberanian dan konsistensi perjuangan Naya Sentika, dibangunlah sebuah patung Naya Sentika di pertigaan desa Bangsri. Patung tersebut dibangun atas inisiatif Kamituo Ngrapah, Lurah Danang Hadi Carito pada tahun 1991.

Perjuangan Naya Sentika terus diwariskan kepada semua masyarakat Kabupaten Blora. Mengisi kemerdekaan ini dengan karya dan pembangunan adalah cara kita di saat ini untuk berterima kasih atas perjuangan Naya Sentika dan pahlawan rakyat lainnya.

Reporter          : Muhammad Eko H.

Fotografer        : Az Zulfa