Pemilu 2019 dan Ancaman Isu SARA
Indonesia adalah negara dengan populasi muslim terbesar yang paling demokratis di dunia, bahkan nomor urut ketiga paling demokratis. Dalam demokrasi global, kita ini sudah baik, jauh sekali kalau dibandingkan dengan negara Timur Tengah, atau jika dibandingkan negara tetangga seperti Thailand.
Meski demikian, yang perlu diantisipasi bahwa kita menghadapi hoaks, berita bohong, fitnah, dan lainnya. Jangan sampai itu mengorbankan suasana demokrasi kita yang sudah bagus ini.
Munculnya isu Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA) pada pemilu bukan karena adanya singgungan antara keyakinan yang ada di masyarakat. Kemunculan isu SARA merupakan hasil produksi elit parpol yang ingin memanipulasi masyarakat untuk kepentingan politik semata.
Demokrasi yang sedang terjadi di Indonesia bersifat ilusi. Dimana praktek berdemokrasi dijalankan, tapi proses keterwakilan serta tujuan akhirnya jauh dari kata baik.
Sebab para elit saat ini tengah mempraktekkan sebuah sistem yang hanya mengambil hak suara politik masyarakat namun minim realisasi kebijakan yang berpihak kepada rakyat.
Untuk diketahui,Tim Survei Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merilis hasil kajian survei mereka terhadap kondisi politik, ekonomi, sosial budaya, serta keamanan jelang pemilu serentak 2019.
Hasilnya, isu SARA diprediksi masih akan menjadi penghambat terwujudnya pemilu yang berkualitas di 2019 nanti. Sebanyak 23,1 persen responden dalam survei ini menganggap, adanya penggunaan politik SARA dapat mengancam konsolidasi demokrasi.
Selain itu, permasalahan praktik politik uang masih dianggap sebagai masalah yang berpotensi muncul dalam pemilu 2019 mendatang.
Survei dilakukan pada periode April hingga Juli 2018, dengan jumlah responden 145 orang yang merupakan ahli di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya serta pertahanan dan keamanan. Survei ini dilakukan di 11 provinsi dengan menggunakan metode purposive sampling.
Eksploitasi isu SARA dalam setiap proses politik akan melumpuhkan akal sehat publik untuk berpikir merdeka dan merampas kebebasan setiap warga negara.
Padahal, larangan diskriminasi atas dasar SARA tercantum dalam UUD Negara RI 1945 dan berbagai dokumen internasional hak asasi manusia.
Intoleransi memiliki daya rusak paling serius bagi bangsa Indonesia. Untuk itu, para tokoh agama, tokoh masyarakat, politisi, dan elemen masyarakat sipil memiliki tanggung jawab yang sama dalam menjaga perdamaian.
Setiap orang memiliki tugas yang sama untuk menjaga dan mempertahankan keberagaman bangsa Indonesia sebagai bentuk ekspresi kenegarawanan atau sekurang-kurangnya sebagai bentuk kepedulian pada kenegarawanan (sense of statesmanship).