Cepu (18.05.2016) Kartosoewirjo merupakan salah satu tokoh legendaris kelahiran Kabupaten Blora dalam sejarah perjuangan Indonesia. Pergerakan Kartosoewirjo melalui Darul Islam (DI) dan Negara Islam Indonesia (NII) menjadi mata rantai sejarah upaya pelaksanaan syariat islam di tanah air.
Kartosoewirjo lahir di Cepu, ujung timur KabupatenBlora pada 7 Januari 1905. Nama aslinya adalah Sekarmadji, sedangkan Maridjan Kartosoewirjo adalah nama ayahnya yang bekerja sebagai Mantri Kehutanan pada pemerintahan Gubernmen Hindia – Belanda. Latar belakang pegawai pemerintah membuat Kartosoewirjo muda leluasa dalam menikmati pendidikan sampai jenjang Nederlandsche Indische Artsen School, sebuah sekolah kedokteran Hindia Belanda di Surabaya.
Di sekolah kedokteran ini, Kartosoewirjo juga mengasah kemampuan politik dan organisasinya kepada HOS Tjokroaminoto. Kartosoewirjo juga aktif dalam Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) bahkan pernah menjabat menjadi sekretaris jendral partai tersebut pada tahun 1931. Visi politik yang berbeda dengan mayoritas petinggi partai membuat Kartosoewirjo hengkang dari partai ini pada 1939.
Isi Perjanjian Renville membuat Kartoseowirjo harus bergumul dengan kebijakan pemerintah pusat saat itu. Perjanjian Renville yang ditandatangani pada 17 Januari 1948 itu hanya mengakui Sumatra, Jawa Tengah dan Jogjakarta sebagai wilayah Republik Indonesia. Kartosoewirjo dan pengikutnya yang saat itu berada di Jawa Barat menolak kebijakan long march menuju Jawa Tengah, Kebijakan long march merupakan kebijakan pemerintah pusat kepada Divisi Siliwangi untuk merapat ke Jawa Tengah.
Pada 7 Agustus 1949 Kartosoewirjo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia di desa Cisampah Kecamatan Ciawiligar Kawedanan Cisayong Tasikmalaya, dan secara otomatis menjadi pemimpin tertinggi Tentara Islam Indonesia (TII). Bersama dengan para pengikutnya, Kartosoewirjo melakukan berbagai gerakan perlawanan di Jawa Barat, saat itu Jawa Barat bernama Negara Pasundan bentukan Belanda dengan presiden yang bernama Raden Arya Adipati Wiranatakoesoema.
Setelah tiga belas tahun melakukan pergerakan, Kartosoewirjo harus menghadapi sebuah operasi militer yang dinamakan Bratayudha. Operasi tersebut berhasil menangkap Kartosoewirjo dan para pengikutnya di Gunung Geber, Majalaya Jawa Barat pada 4 Juni 1962.
Pada 14 Agustus 1962 Kartosoewirjo menghadapi persidangan khusus dan didakwa atas tiga hal. Upaya menggulingkan pemerintahan yang sah, memberontak dan percobaan pembunuhan atas persiden Soekarno. Namun, Kartosoewirjo hanya mengaku bersalah pada tuduhan pertama, upaya menggulingkan pemerintahan yang sah. Pada 19 Agustus 1962, Harian Pikiran Rakyat memberitakan vonis mati kepada kartosoewirjo. Pada 5 september 1962, Kartosoewirjo dieksekusi mati oleh tim regu tembak bersama dengan lima pengikutnya setelah permohonan pengampunan yang disampaikannya ditolak oleh pengadilan.
Sumber : Wikipedia Dan Tempo edisi XVI tahun 2010
Editor : Ahmad Sukri
Fotografi : Az Zulfa
Baca Juga :